Serangan Israel di Tunisia dan Kemiripannya dengan Doha
Peristiwa Pembantaian Hamam Al-Shat 1985 menjadi salah satu catatan hitam dalam sejarah konflik Timur Tengah. Pada 1 Oktober 1985, Israel melancarkan serangan udara jarak jauh terhadap markas besar Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Tunisia. Serangan itu bukan hanya menewaskan puluhan orang, tetapi juga menunjukkan bagaimana Israel berani melanggar kedaulatan negara Arab yang dianggap netral.
Serangan ini dilakukan di kawasan Hammam Al-Shat, pinggiran Tunis, tempat PLO mendirikan markas setelah terusir dari Beirut pada 1982. Serangan teror Israel menargetkan Yasser Arafat, yang belakanhan menjadi Presiden Palestina, dan para pemimpin revolusi Palestina, namun Arafat selamat karena sedang berada di luar lokasi. Kendati demikian, lebih dari 60 orang tewas dan lebih dari 100 lainnya terluka, termasuk warga sipil Tunisia.
Perdana Menteri Israel saat itu adalah Shimon Peres, tokoh dari Partai Buruh yang baru saja menjabat pada 1984. Meskipun dikenal sebagai figur moderat dalam politik Israel, ia tetap menyetujui operasi militer yang menimbulkan korban besar dan melanggar aturan internasional. Hal ini menunjukkan kebiadaban Israel dalam menggunakan kekuatan militer untuk terus membantai dan meneror warga Palestina, sejak peristiwa An Nakba tahun 1948.
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat saat itu adalah Ronald Reagan. Meski AS dikenal sebagai sekutu utama Israel, pemerintahan Reagan pada saat itu memberi kritik terhadap serangan ke Tunisia. Alasannya jelas: tindakan Israel dinilai melanggar hukum internasional dan menyerang kedaulatan sebuah negara sahabat Amerika.
Dewan Keamanan PBB merespons cepat dengan mengeluarkan Resolusi 573. Resolusi ini mengecam keras tindakan Israel, menyebutnya sebagai agresi militer yang tidak bisa dibenarkan. Bahkan, AS yang biasanya melindungi Israel dengan hak veto tidak menggunakannya kali ini, melainkan ikut mengecam, meski dengan bahasa yang lebih hati-hati.
Keberhasilan Tunisia membawa isu ini ke PBB menunjukkan betapa dunia masih sensitif terhadap pelanggaran kedaulatan negara. Serangan lintas batas Israel dipandang tidak hanya menyerang Palestina, tetapi juga merendahkan posisi Tunisia sebagai anggota penuh PBB.
Jika dibandingkan, serangan Israel ke Doha, Qatar beberapa dekade kemudian memiliki kemiripan dari segi motif. Israel menargetkan tokoh perlawanan Palestina yang berada di luar negeri, dengan alasan keamanan dan pencegahan serangan balasan. Sama seperti di Tunisia, Israel berusaha membuktikan kemampuannya untuk bertindak semena mena dalam kondisi apapun.
Namun, ada perbedaan mencolok dari sisi reaksi dunia internasional. Saat serangan ke Tunisia, dunia masih kompak mengecam karena jelas-jelas ada pelanggaran wilayah negara lain. Sebaliknya, ketika serangan dilakukan ke Doha, reaksi internasional lebih terbagi. Kecaman ada, tetapi tidak sampai menghasilkan sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB meski genosida Israel kepada warga Palestina di Gaza masih berlanjut sampai saat ini.
Perbedaan ini terjadi karena dinamika politik global berubah. Pada 1985, Perang Dingin masih berlangsung, dan banyak negara Non-Blok aktif menentang tindakan militer sepihak. Sedangkan pada saat serangan ke Doha, situasi internasional jauh lebih rumit, terutama dengan dukungan AS di bawah Donald Trump dan kabinetnya yang sebagian besar terpapar dengan ideologi 'Perang Salib'.
Selain itu, faktor kepemimpinan Amerika Serikat juga berbeda. Jika pada 1985 Ronald Reagan masih bisa menegur Israel dalam kasus Tunisia, maka pada serangan ke Doha presiden AS yang berkuasa lebih condong untuk melindungi Israel di forum internasional, apalagi AS punya pangkalan militer di Qatar yang diduga sudah mengetahui serangan tersebut sebelum terjadi. Itulah sebabnya resolusi serupa tidak lahir.
Israel pada kedua kasus menggunakan pola serupa: serangan udara presisi dengan tujuan membunuh tokoh kunci PLO atau perlawanan Palestina. Namun, meskipun operasi militer itu menelan korban sipil, Israel tetap mengklaim aksis terorismenya sebagai “pembelaan diri.” Klaim ini hampir selalu diterima oleh sebagian sekutu Barat.
Perbedaan juga terlihat pada dukungan diplomatik negara Arab. Pada 1985, dunia Arab bersatu mengecam serangan di Tunisia. Liga Arab menggelar sidang darurat dan memberikan dukungan penuh kepada Tunisia. Sementara pada serangan ke Doha, meskipun ada kecaman, solidaritas politik Arab sudah lebih lemah karena konflik internal dan normalisasi sebagian negara dengan Israel.
Akibat serangan Hammam Al-Shat, Tunisia mendorong penguatan persatuan Arab radikal dan memperkuat solidaritasnya terhadap Palestina yang terus dibantai dan diteror Tel Aviv sejak era Inggris. Sebaliknya, serangan ke Doha meski tidak mendorong perubahan besar di kawasan, tapi mendorong konferensi OKI dan negara Arab untuk mengutuk tindakan tersebut.
Dengan demikian, meski ada kemiripan strategi militer Israel dalam kedua kasus, reaksi internasional sangat berbeda. Pada 1985, Israel terpojok karena ditekan oleh resolusi PBB. Namun pada kasus Doha, Israel justru relatif lolos dari hukuman internasional meski tindakannya sama-sama melanggar kedaulatan negara lain, apalagi aksi genosidanya di Gaza gagal dihentikan PBB.
Perubahan konteks geopolitik global inilah yang menjelaskan mengapa ada resolusi terhadap serangan ke Tunisia, tetapi tidak ada resolusi ketika serangan terjadi di Doha. Faktor utama adalah posisi Amerika Serikat, yang pada akhirnya menentukan arah kebijakan PBB terkait Israel. Apalagi saat serangan ke Tunisia, dunia sedang berada di Perang Dingin dengan kekuatan Uni Soviet. Kini pengganti Soviet; Rusia sedang tak punya taring.
Kedua peristiwa itu menunjukkan satu benang merah: Israel selalu mengandalkan serangan lintas batas untuk meneror pihak Arab yang lemah, meskipun berisiko melanggar hukum internasional. Yang berbeda hanyalah sejauh mana dunia bersedia menegur dan memberi sanksi.
Dalam konteks sejarah, Pembantaian Hamam Al-Shat tetap dikenang sebagai salah satu bukti nyata agresi Israel yang menewaskan banyak orang di luar Palestina. Sedangkan serangan ke Doha menambah daftar panjang operasi militer Israel yang terjadi tanpa konsekuensi hukum berarti.
Tidak ada komentar