Breaking News

Trump Diduga Dorong Serangan Iran demi Popularitas


Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran kembali memanas setelah serangan udara gabungan AS-Israel terhadap sejumlah fasilitas strategis Iran. Di balik operasi militer itu, muncul laporan mengejutkan bahwa keputusan Presiden AS, Donald Trump, dipengaruhi oleh liputan media, khususnya siaran Fox News yang gencar memuji serangan Israel.

The New York Times melaporkan bahwa Trump sempat terkagum-kagum saat menerima laporan dari para penasihatnya tentang operasi militer Israel. Ia menyebutnya sebagai operasi yang brilian karena berhasil menewaskan sejumlah pimpinan militer Iran dan menghancurkan fasilitas senjata strategis di negara itu.

Trump bahkan menerima panggilan dari sejumlah jurnalis dan secara terbuka menyebut operasi itu sebagai tindakan yang “sangat sukses.” Lebih jauh, ia memberi isyarat bahwa dirinya memiliki peran yang lebih besar dalam serangan itu dibandingkan apa yang diketahui publik.

Pada hari yang sama, Trump disebut sempat bertanya kepada seorang sekutunya tentang bagaimana sebenarnya serangan Israel “berjalan.” Ia mengungkapkan bahwa banyak pihak mendesaknya untuk lebih terlibat langsung, termasuk opsi menjatuhkan bom penghancur bunker seberat 30.000 pon ke fasilitas pengayaan uranium Iran di Fordo.

Di balik layar, penasihat politik Trump tengah memperdebatkan hasil survei publik terkait seberapa besar dukungan rakyat Amerika terhadap opsi militer di Iran. Survei menunjukkan mayoritas warga AS menolak perang terbuka dengan Iran, meski banyak yang juga menolak Iran memiliki kemampuan nuklir, meski untuk tujuan damai.

Meski mayoritas publik tidak ingin AS terseret ke dalam konflik langsung, sorotan media konservatif justru menampilkan narasi berbeda. Trump disebut sangat intens memantau siaran Fox News yang tanpa henti menyanjung keberhasilan militer Israel dalam operasi tersebut.

Saluran berita itu menampilkan berbagai tamu dan analis yang mendesak Trump untuk lebih berperan dalam operasi militer, sebuah tekanan opini yang akhirnya diyakini memengaruhi sikapnya. Beberapa penasihat Trump mengaku kecewa karena Tucker Carlson, salah satu pengkritik kebijakan perang, sudah tidak lagi tampil di Fox News.

Ketiadaan Carlson membuat Trump hanya menerima satu sisi informasi, yakni dukungan penuh terhadap operasi militer dan desakan agar AS meningkatkan perannya. Kondisi inilah yang ditengarai membuat Trump tergoda untuk membangun citra dirinya di tengah keberhasilan Israel.

Pengamat kebijakan luar negeri menilai, keputusan politik berisiko tinggi yang dilatari motif popularitas dan opini media merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang berbahaya. Dalam kasus ini, Trump seolah lebih mementingkan sorotan publik ketimbang perhitungan diplomasi jangka panjang.

Serangan itu sendiri memakan korban jiwa dari kalangan militer dan warga sipil Iran. Beberapa laporan menyebutkan bahwa sejumlah tokoh penting dalam jaringan pertahanan Iran tewas dalam operasi tersebut. Situasi di kawasan pun semakin tidak terkendali pasca serangan.

Trump, yang sebelumnya terkenal kerap mengkritik keterlibatan militer AS di luar negeri, justru kali ini terseret euforia media. Bahkan, menurut laporan, dia sempat bercanda soal pergantian rezim di Iran, pernyataan yang memancing kecaman luas dari berbagai kalangan.

Elliott Abrams, mantan utusan khusus AS untuk Iran di masa Trump, menyatakan bahwa komentar-komentar seperti itu sering kali dimanfaatkan sebagai taktik pengalihan isu. Namun, di tengah konflik nyata, candaan semacam itu dinilai sangat tidak pantas dan membahayakan.

Sementara itu, sejumlah media Iran memanfaatkan pernyataan Trump dan liputan media AS sebagai bukti bahwa AS sejak awal memang mengincar jatuhnya pemerintahan Tehran. Jerman mengakuinya sebagai 'dirty work' Barat yang sudah direncanakan sebelumnya. Beberapa media menyebutnya sebagai operasi intelijen bermotif politis yang disamarkan lewat retorika antinuklir.

Di sisi lain, para pejabat senior AS termasuk Menteri Pertahanan Pete Hegseth dan Wakil Presiden JD Vance secara terbuka menyatakan bahwa operasi tersebut bukan bertujuan menggulingkan pemerintah Iran. Mereka menegaskan bahwa misi hanya sebatas menghentikan ancaman nuklir.

Meski demikian, kontradiksi antara pernyataan resmi dan unggahan Trump di media sosial membuat kredibilitas posisi AS di mata internasional dipertanyakan. Dunia bertanya-tanya, apakah kebijakan luar negeri negara adidaya ditentukan oleh perhitungan strategis atau rating siaran televisi.

Beberapa analis mengungkapkan kekhawatiran bahwa serangan ini akan memicu spiral konflik lebih besar di kawasan Teluk Persia. Iran diperkirakan akan membalas sesuai dengan hak yanh dimiliki sebuah negara dalam piagam PBB.

Warga sipil Iran yang menjadi korban pun semakin bertambah, dan situasi kemanusiaan di beberapa kota utama Iran disebut makin memprihatinkan. Rumah sakit dan fasilitas umum menjadi target serangan Iran yang didukung AS, Inggris, Perancis dll di belakang layar.

Ketika operasi militer dijadikan bahan permainan politik dan candaan pejabat tinggi, dampaknya selalu dirasakan rakyat biasa. Wacana ‘regime change’ yang sebelumnya ditolak, kini muncul kembali, setidaknya dalam retorika provokatif di media sosial dan forum-forum internasional.

Trump sendiri hingga kini belum memberikan klarifikasi serius soal pernyataan dan keterlibatannya. Sementara itu, para penasihat politiknya mencoba meredam isu dengan menyebut pernyataan tersebut hanya sekadar gaya bicara khas Trump.

Namun bagi publik Iran dan komunitas internasional, pernyataan itu tetap dianggap berbahaya. Apalagi jika benar keputusan militer dibuat hanya karena ingin tampil di layar kaca dan menjadi headline media konservatif di AS.

Kisah ini sekaligus menjadi peringatan betapa rapuhnya etika politik global ketika keputusan soal nyawa dan perang bisa dipengaruhi rating acara televisi dan popularitas media sosial seorang mantan presiden.

Tidak ada komentar