Kisah Rangkuti, Jejak Chetty dan Barus dalam Sejarah Maritim Nusantara
Barus, pelabuhan tua di pantai barat Sumatera, sekali lagi menyingkap tabir sejarah yang menautkan India Selatan dengan dunia Melayu. Sebuah catatan Belanda abad ke-19 oleh G.J.J. Deutz menyinggung adanya komunitas asing yang disebut Tjati atau Chetti yang hidup berdampingan dengan orang Batak, Melayu, dan Minangkabau di Barus. Sumber itu menegaskan bahwa pada abad ke-11 M, telah ada hubungan dagang langsung antara India bagian selatan dan pesisir Sumatera, menandakan Barus sebagai simpul penting perdagangan internasional yang menyatukan dua peradaban besar Asia.
Dalam keterangan Deutz, kelompok yang disebut Tjati di Barus diidentifikasi mirip dengan Chetti’s di India Selatan — komunitas pedagang dari Tamil Nadu yang terkenal sejak masa lampau. Para Chetti atau Chettiar ini dikenal sebagai para pemodal dan pedagang ulung di pesisir Samudra Hindia, bahkan disebut oleh Ibn Battuta sebagai sati, sebutan yang berkaitan dengan status mereka sebagai kelompok terdidik dan berpengaruh. Jejak mereka di Sumatera memperlihatkan bahwa perdagangan bukan hanya membawa barang, tetapi juga pertukaran budaya, bahasa, dan keyakinan yang membentuk wajah awal Nusantara.
Komunitas Chettiar sendiri telah ada sejak abad ke-3 Masehi dan mencapai puncak kejayaan pada masa Dinasti Chola, kerajaan maritim besar di India Selatan. Pada masa itu, kapal-kapal Tamil berlayar hingga Sri Lanka, Myanmar, dan kepulauan Melayu, membawa rempah, emas, dan kain sutra. Ketika Chola memperluas pengaruhnya hingga Asia Tenggara pada abad ke-11, para pedagang Chettiar menjadi ujung tombak ekspansi ekonomi dan diplomasi. Mereka dikenal tak hanya sebagai pedagang, tetapi juga sebagai bankir dan pemberi pinjaman uang, bahkan menjalin hubungan erat dengan koloni Inggris pada masa-masa berikutnya.
Dalam video “History and Significance of Chettiar Traders in Tamil Culinary Tradition”, dijelaskan bagaimana Chettiar berkembang menjadi komunitas elit bisnis di India. Mereka membangun jaringan perdagangan internasional, mempraktikkan etika bisnis yang tinggi, dan bahkan menilai kelayakan peminjam berdasarkan pembacaan garis tangan — tradisi unik sebelum adanya sistem perbankan modern. Mereka juga dikenal sebagai dermawan besar, membangun sekolah, rumah sakit, dan kuil, serta meninggalkan warisan arsitektur megah di Chettinad, tanah asal mereka di Tamil Nadu.
Hubungan antara Barus dan komunitas Chetty ini tampaknya lebih dari sekadar ekonomi. Beberapa penelitian dan catatan lisan di Sumatera, seperti yang dikemukakan oleh sejumlah penulis Batak dan Minangkabau, menduga bahwa sebagian pedagang Chetty yang datang ke Barus telah memeluk Islam bersamaan dengan kedatangan bangsa Arab. Mereka disebut ikut menyambut atau mengiringi rombongan dakwah Nakhoda Khalifah, utusan Sayyidina Ali RA ke kepulauan Arkhabil — sebutan awal untuk kepulauan Nusantara dalam sumber-sumber Arab.
Versi ini mungkin sulit dibuktikan sepenuhnya, namun menarik karena sesuai dengan catatan Ibn Battuta tentang adanya kelompok Sati atau Chetty Muslim di Samudera Pasai. Jika benar, maka mereka termasuk di antara kelompok pertama yang menyebarkan Islam di Sumatera sebelum masa kerajaan-kerajaan besar seperti Aceh Darussalam. Dengan begitu, Barus bukan hanya pelabuhan kapur barus, tetapi juga pelabuhan dakwah dan persilangan budaya India Selatan dengan Melayu dan Batak.
Kaitannya dengan marga-marga lokal seperti Rangkuti, Mardia, dan Parinduri juga menambah dimensi menarik dalam penelusuran ini. Beberapa catatan lama dan diskusi antarpeneliti lokal menyebut bahwa “Kuti” yang menjadi bagian nama Rangkuti mungkin berasal dari istilah “Chetty” atau “Kutti”, merujuk pada kelompok pedagang Tamil yang menetap dan berasimilasi di daerah pesisir Sumatera. Setelah berbaur dengan masyarakat Melayu dan Batak, identitas mereka melebur menjadi bagian dari jaringan sosial dan keagamaan di Tanah Batak dan Minangkabau. Dalam Tarombo di masyarakat Sumatera Utara, Rangkuti dianggap bagian dari marga Pane merujuk pada Kerajaan Panai di Padang Lawas. Baik Chola, Rangkuti dan Nakhoda Khalifah mempunyai simbol harimau dalam sejarah.
Asimilasi semacam ini bukan hal aneh di dunia maritim abad pertengahan. Para pelaut, pendakwah, dan pedagang kerap menikah dengan penduduk setempat, membentuk komunitas baru dengan ciri keagamaan dan kebudayaan yang khas. Di Barus, tempat yang telah lama dikenal sebagai gerbang dunia luar ke Sumatera, interaksi antarbangsa dari India, Arab, dan Asia Tenggara menciptakan mosaik sejarah yang kaya.
Bukti linguistik pun mendukung jejak hubungan itu. Istilah Sati atau Tjati dalam naskah kolonial Belanda kemungkinan besar mengacu pada kelompok Chetty, sementara nama-nama tempat dan istilah lama seperti “Padang Mardia” di Sumatera Barat juga diduga menyimpan lapisan sejarah yang berkaitan dengan kedatangan komunitas India Selatan tersebut. Jika benar peninggalan di sana berasal dari abad ke-8 hingga ke-10, maka hal itu mendahului serangan Chola pada abad ke-11.
Sementara itu, dalam konteks kebudayaan, istilah Sati di Minangkabau diduga sudah ada sebelum istilah 'Nan Sati' yang merujuk pada marga Nasution yang dianggap terkait Sultan Iskandsr Muda dalam tambo lokal, seperti dalam kisah “Sibaroar nan Sati” Rambah Rokan. Hal ini menandakan bahwa istilah tersebut mungkin sudah dikenal masyarakat Sumatera sebelum pengaruh Kesultanan Aceh atau Iskandar Muda, dan bisa jadi merupakan warisan interaksi awal dengan dunia Tamil.
Dari sudut pandang sejarah global, hubungan antara Chola, Chettiar, dan Barus adalah bukti kuat betapa terbukanya dunia maritim kuno. Di saat kerajaan-kerajaan Eropa masih terbatas pada perdagangan internal, Asia Selatan dan Nusantara sudah membangun jaringan antarnegara melalui laut. Di dalamnya, Barus menjadi simpul yang mempertemukan pedagang India, Buddha, dan Muslim dalam jalur rempah dan pengetahuan.
Menariknya, setelah berabad-abad, jejak Chettiar masih dapat dirasakan. Di Singapura, Malaysia, dan India sendiri, komunitas Chettiar kini sebagian besar beragama Hindu, namun masih mempertahankan etos perdagangan dan filantropi yang diwariskan leluhur mereka. Bagi para peneliti sejarah Nusantara, pertanyaan besar yang tersisa adalah: apakah sebagian dari mereka yang datang ke Barus pada abad-abad awal itu sudah memeluk Islam dan turut membentuk jaringan dakwah awal di Sumatera?
Beberapa warganet mengingatkan agar teori ini dilihat sebagai salah satu versi sejarah yang masih perlu diuji. Meski demikian, gagasan bahwa pedagang Tamil Muslim turut berperan dalam penyebaran Islam awal di Nusantara tetap menarik, apalagi jika dikaitkan dengan catatan Ibn Battuta dan sumber-sumber Arab.
Dalam perspektif yang lebih luas, hubungan ini juga menegaskan peran penting Barus sebagai “gerbang internasional” Nusantara jauh sebelum era Sriwijaya dan Majapahit. Ia menjadi tempat di mana rempah, bahasa, dan agama bertemu — di mana pedagang India Selatan, ulama Arab, dan penduduk lokal saling belajar dan membentuk identitas baru yang kemudian dikenal sebagai Melayu dan Batak Islam.
Kisah Chettiar di Barus adalah potongan kecil dari sejarah besar yang memperlihatkan bahwa Islam di Nusantara lahir dari pertemuan banyak bangsa, bukan penaklukan. Ia tumbuh dari perdagangan, kepercayaan, dan keterbukaan, sesuatu yang telah menjadi ciri peradaban maritim kita sejak awal.
Kini, kajian semacam ini bukan sekadar upaya menelusuri asal-usul marga atau etnis, tetapi juga bagian dari memahami bagaimana globalisasi sudah terjadi jauh sebelum istilah itu diciptakan. Barus dan Chettiar menjadi simbol dua dunia yang saling bertemu dalam samudra yang sama, menegaskan bahwa sejarah Nusantara sesungguhnya adalah sejarah samudra dan persaudaraan lintas benua.
Kisah ini mengingatkan bahwa di balik pasir Barus yang sunyi, tersimpan kisah besar tentang pelayaran, percampuran darah, dan penyebaran iman. Dari para pedagang Chetty hingga generasi Rangkuti dan Mardia, sejarah ini berlanjut sebagai warisan peradaban yang masih menunggu untuk dibaca lebih dalam.
http://muhammadjayus.blogspot.com/2017/11/sahabat-nabi-saw-yang-datang-ke.html
https://jejakrekam.com/2017/04/18/ternyata-para-sahabat-nabi-saw-sebarkan-islam-ke-nusantara/
Tidak ada komentar