Wilayah PLC Yaman Terkepung, Akses Utara Jadi Penentu
Situasi konflik di Yaman memasuki fase yang semakin genting pada akhir Desember 2025, seiring meluasnya penguasaan Dewan Transisi Selatan (STC) di wilayah timur dan selatan. Langkah STC menguasai sebagian besar Hadhramaut dan Al-Mahra tidak hanya mengubah peta politik lokal, tetapi juga berdampak langsung pada posisi wilayah yang masih berada di bawah kendali Dewan Kepemimpinan Presiden (PLC), khususnya Marib.
Dengan dikuasainya jalur-jalur utama di Hadhramaut dan pesisir timur, wilayah Ma’rib—yang menjadi pusat pemerintahan PLC di utara—kini berada dalam posisi nyaris terkepung dari seluruh arah. Akses dari selatan dan timur praktis tertutup, sementara jalur barat laut telah lama tidak dapat digunakan akibat kontrol Houthi. Kondisi ini membuat wilayah PLC hanya memiliki satu akses utama, yakni melalui perbatasan utara dengan Arab Saudi
Kondisi tersebut tercermin dalam pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Yaman pada 29 Desember 2025, yang menyoroti pembukaan rute baru melalui pos perbatasan Al-Wadeah. Jalur ini kini menjadi satu-satunya pintu masuk aman bagi operasi kemanusiaan menuju Ma’rib, wilayah strategis yang menampung lebih dari dua juta pengungsi internal.
Al-Wadeah, yang terletak di perbatasan timur laut Yaman, kini berfungsi sebagai jalur vital bagi pergerakan bantuan, personel internasional, serta logistik dasar. PBB menyebut rute tersebut sebagai faktor krusial untuk menjaga keberlangsungan operasi kemanusiaan, terutama di tengah meningkatnya isolasi wilayah PLC.
Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB untuk Yaman, Julien Harneis, menyatakan bahwa pembukaan jalur tersebut memungkinkan akses yang lebih aman dan stabil menuju Ma’rib. Ia menekankan bahwa tanpa jalur ini, distribusi bantuan bagi jutaan warga sipil akan menghadapi hambatan serius.
Di balik pernyataan tersebut, tersirat realitas lapangan yang semakin sulit bagi pemerintah Yaman. Penguasaan STC atas Aden dan sebagian besar wilayah pesisir selatan telah memutus jalur logistik tradisional dari pelabuhan ke wilayah utara. Jalur darat dari Hadhramaut ke Ma’rib kini melewati wilayah yang tidak lagi berada di bawah kendali pemerintah pusat.
Mukalla, yang selama ini menjadi pintu masuk utama dari arah timur, juga tidak lagi dapat berfungsi sebagai jalur aman. Perubahan kontrol keamanan membuat pergerakan bantuan dan pasokan dari wilayah tersebut menjadi sangat terbatas dan berisiko tinggi.
Di sisi barat laut, situasi tidak lebih baik. Pelabuhan Hodeidah masih berada di bawah kendali Houthi, sementara garis depan menuju Ma’rib dipenuhi pertempuran, ranjau, dan blokade. Kondisi ini menutup kemungkinan penggunaan jalur barat sebagai alternatif akses.
Akibatnya, Ma’rib dan wilayah PLC lainnya kini berada dalam kondisi terkepung secara geografis. Ketergantungan pada satu jalur utara mencerminkan betapa rapuhnya posisi pemerintah Yaman di lapangan, meskipun secara politik masih diakui secara internasional.
Sementara itu, STC terus memperkuat posisinya di wilayah timur dan selatan. Unjuk rasa besar di Seiyun pada 28 Desember 2025 memperlihatkan konsolidasi dukungan publik bagi agenda politik STC, sekaligus menjadi sinyal bahwa kelompok tersebut tidak berniat mundur dari wilayah yang telah dikuasainya.
Presiden PLC, Rashad al-Alimi, menggelar pertemuan darurat Dewan Pertahanan untuk menanggapi perkembangan tersebut. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa perluasan kontrol oleh kelompok bersenjata di luar struktur negara mengancam kesatuan Yaman dan memperburuk penderitaan rakyat.
Di tingkat lokal, muncul pula dinamika pasukan suku Hadhramaut yang menuntut otonomi lebih besar dan pengelolaan sumber daya sendiri. Meski memiliki kepentingan berbeda dengan STC, kehadiran mereka menambah kompleksitas situasi keamanan di wilayah timur.
Berbagai rumor mengenai dukungan militer kepada kelompok-kelompok lokal turut beredar di media, meski hingga kini belum ada konfirmasi resmi. Pengamat menilai narasi tersebut mencerminkan ketegangan politik yang meningkat, bukan fakta lapangan yang terverifikasi.
Yang paling terdampak dari situasi ini adalah warga sipil. Ma’rib, sebagai salah satu wilayah dengan konsentrasi empat juta pengungsi, ini terbesar di Yaman, kini bergantung hampir sepenuhnya pada jalur utara untuk pasokan makanan, obat-obatan, dan layanan dasar.
Ketergantungan pada satu akses tunggal juga meningkatkan risiko kemanusiaan. Gangguan kecil saja pada jalur perbatasan dapat berdampak besar terhadap jutaan warga yang bergantung pada bantuan internasional.
Para analis menilai bahwa penguasaan STC atas Hadhramaut dan Al-Mahra secara de facto telah mengubah peta konflik. Tanpa pertempuran besar, wilayah PLC kini terisolasi secara bertahap, sementara garis pemisah politik dan militer semakin mengeras.
Situasi ini memperlihatkan bahwa konflik Yaman tidak lagi hanya soal utara dan selatan, tetapi juga soal akses, logistik, dan kontrol wilayah strategis. Tanpa solusi politik yang inklusif, pengepungan tidak langsung terhadap wilayah PLC berpotensi memperpanjang krisis.
Menjelang akhir Desember 2025, Yaman kembali menghadapi kenyataan pahit: wilayah pemerintahan resmi semakin menyempit, akses semakin terbatas, dan jutaan warga sipil berada di tengah ketidakpastian. Perkembangan ini menegaskan urgensi upaya diplomatik sebelum isolasi wilayah berubah menjadi bencana kemanusiaan yang lebih luas.







Tidak ada komentar